Sekelumit Tentang Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum ("PMH") telah diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ("KUHPerdata"), yang menyatakan bahwa "setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut". Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata itu sendiri berasal dari Code Napoleon.
Pada awalnya (sebelum tahun 1919), pengadilan di Negeri Belanda menafsirkan PMH dalam arti sempit sebagai hanya pelanggaran dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku (menyalahi hukum semata), akan tetapi sejak tahun 1919 PMH mu;ai ditafsirkan dalam arti luas yang juga mencakup perbuatan-perbuatan:
a.perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain (inbreuk op eens anders recht) termasuk:
-hak-hak pribadi (personlijkheidsrechten);
-hak-hak kekayaan (vermorgensrecht);
-hak atas kebebasan; dan
-hak atas kehormatan dan nama baik.
b.perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum (recht splicht) dari si pelaku sendiri;
c.perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan,
merupakan tindakan-tindakan yang melanggar kesusilaan yang merupakan hukum tidak tertulis juga dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, hal tersebut sebagaimana putusan perkara Lindenbaum vs Cohen di negeri Belanda di tahun 1919 yang merupakan perkara landmark pada saat itu dan juga dimulainya perkembangan dari paham perbuatan melawan hukum dalam arti luas, dimana dalam putusannya Hoge Raad (Mahkamah Agung di Belanda) menganggap tindakan perusahaan Cohen yang bergerak dibidang yang sama dengan perusahaan Lindenbaum (percetakan) berusaha membujuk dan memberikan hadiah bagi para karyawan dari Lindenbaum agar mau membuka rahasia dan perjanjian-perjanjian dari para pelanggan Lindenbaum, termasuk merupakan perbuatan melawan hukum.
d.perbuatan yang bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang baik,
merupakan tindakan seseorang baik berbuat maupun tidak berbuat sesuatu yang tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku namun bertentangan dengan prinsip-prinsip kehati-hatian atau keharusan berprilaku dalam tatanan pergaulan bermasyarakat yang baik (hidup/berlaku dalam kehidupan masyarakat dimaksud);
Dari perkembangan PMH ditahun 1919 terus berkembang, dimana pada tahun 1937 dinyatakan pula oleh pengadilan di Negeri Belanda bahwa perbuatan penyalahgunaan hak (misbruik van recht) yang mememenuhi unsur-unsur PMH sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata (seperti adanya kerugian bagi orang lain) juga merupakan perbuatan melawan hukum, sebagaimana dalam perkara landmark kasus "cerobong asap" di Negeri Belanda. Hoge Raad menyatakan bahwa pelaku pembuat cerobong di dalam pekarangannya dengan maksud untuk menghalang-halangi pemandangan dari tetangga terdekatnya dan cerobong dimaksud tidak memiliki manfaat bagi pembuatnya, merupakan penyalahgunaan hak yang memenuhi unsur dalam PMH, sehingga patut untuk dihukum dengan merobohkan bangunan cerobong asap dimaksud.
Unsur-Unsur PMH
Sebagaimana Pasal 1365 KUHPerdata, unsur-unsur dari PMH, adalah sebagai berikut:
a.adanya suatu perbuatan;
b.perbuatan tersebut melawan hukum (dalam arti sempit) atau dalam arti luas;
c.adanya kesalahan dari si pelaku'
d.timbulnya kerugian yang timbul bagi si korban; dan
e.adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
ad. a adanya suatu perbuatan
pengertian perbuatan haruslah ditafsirkan baik secara aktif yaitu melakukan suatu perbuatan atau tindakan maupun dapat ditafsirkan secara pasif, yaitu tidak melakukan sesuatu yang sepatutnya dilakukan berdasarkan kewajibannya untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku. Oleh karenanya pada PMH tidak ada unsur "persetujuan" atau "kesepakatan" maupun unsur "causa yang diperbolehkan" sebagaimana yang terdapat dalam suatu kontrak.
ad.b.perbuatan tersebut melawan hukum
Sejak tahun 1919, pengertian PMH telah diartikan secara luas, yang secara garis besar meliputi:
i.perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
ii.yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum;
iii.perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku;
iv.perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
v.perbuatan yang bertentangan dengan sikap tindak yang baik (patut) dalam bermasyarakat
ad.c.adanya kesalahan dari si pelaku
agar dapat memenuhi unsur dari Pasal 1365 KUHPerdata disyaratkan adanya unsur kesalahan (schuldelement) dalam melakukan suatu perbuatan (baik aktif maupun pasif), oleh karenanya tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk di dalam tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Suatu tindakan dianggap oleh hukum telah mengandung adanya unsur kesalahan (schuld) sehingga patut untuk dapat dimintakan pertanggung jawabannya, apabila memenuhi:
i.unsur kesengajaan; atau
ii.unsur kelalaian (culpa); atau
iii.tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf, seperti overmacht, membela diri, perintah UU, perintah atasan dan lain-lainnya.
ad.d.adanya kerugian yang timbul bagi si korban
Timbulnya kerugian akibat dari suatu PMH merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Berbeda dengan kerugian akibat dari suatu wanprestasi, kerugian akibat PMH selain berupa kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yaitu biaya, rugi dan bunga, juga dapat adanya kerugian yang berupa kerugian imateriil.
ad. e.adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
hubungan sebab akibat dari adanya suatu kerugian akibat dari suatu PMH juga merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebagaimana Pasal 1365 KHUPerdata. Untuk dapat melihat adakah hubungan sebab akibat dari suatu PMH, dikenal 2 teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Teori hubungan faktual hanya merupakan apa yang secara faktual telah terjadi, adanya fakta-fakta dari suatu penyebab sehingga menimbulkan kerugian, asalkan dapat dipastikan tanpa penyebab dimaksud maka kerugian tidak akan pernah ada. Teori penyebab kira-kira timbul dalam praktik untuk memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukumnya, meskipun menimbulkan banyak perdebatan hukum yang berkaitan dengan PMH. Teori penyebab kira-kira (proximate cause) digunakan untuk mengetahui dan menetapkan sejauh mana suatu perbuatan melawan hukum memiliki tanggung jawab atas hasil dari perbuatan dimaksud, adalah layak dan patut jika seseorang diberikan tanggung jawab hanya sebatas dari akibat yang diperkirakan akan terjadi. Oleh karenanya doktrin proximate cause memiliki unsur "sepatutnya dapat diduga" (forseeability) sebagai unsur utama, jadi A bertanggung jawab atas tindakannya terhadap B jika dia sepatutnya dapat menduga bahwa karena perbuatannya tersebut B akan mendapatkan kerugian. Doktrin proximate cause membatasi tanggung jawab pelaku hanya sebatas akibat "dekat" dari perbuatannya, sebagai contoh jika A sewaktu mengendarai kendaraannya menabrak B hingga mengakibatkan luka ringan dan kemudian A mengantarkan B berobat pada dokter kenalannya, akan tetapi ternyata dokter kenalan A tersebut salah memberikan obat sehingga B meninggal dunia. Dalam hal contoh tersebut, A selaku pengemudi yang telah lalai hingga menyebabkan B tertabrak dan luka ringan dan mengantar pada dokter kenalannya tidak dapat dimintai tanggung jawabnya atas kematian dari B melainkan hanya sebatas luka ringan akibat ditabrak kendaraan A, karena A tidak memiliki dugaan (tidak forseeable) si dokter salah dalam memberikan obatnya. Akan tetapi berdasarkan doktrin sebab akibat faktual maka A dianggap sebagai penyebab dari kematian B oleh karena apabila A tidak menabrak B maka B tidak akan berobat ke dokter dimaksud dan B tidak akan menerima atau memakai/mengkonsumsi obat salah tersebut.
Teori Schutznorm dalam PMH
Teori ini sering disebut teori relativitas yang berasal dari kata "schutz" yang secara harafiah mempunyai arti "perlindungan", sehingga Schutznorm secara harafiah berarti "norma perlindungan". Pengertian dari teori Schutznorm mengajarkan bahwa suatu perbuatan yang melanggar norma/ketentuan hukum yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain vide Pasal 1365 KUHPerdata, tidak cukup hanya menunjukan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang ditimbulkan, melainkan juga diperlukan untuk diperlihatkan/dibuktikan bahwa norma/ketentuan hukum yang dilanggar tersebut dibuat/dimaksudkan untuk melindungi kepentingan terhadap korban, sebagai contoh penerapan dari teori Schutznorm dapat dilihat dalam Putusan Hoge Raad tanggal 17 Januari 1958, dimana seorang dokter gadungan yang membuka praktek kedokteran dan bertindak seolah-olah sebagai dokter sehingga para dokter disekitar tempat praktek dokter gadungan dimaksud menderita kerugian yang berupa berkurangnya pendapatan sebagai dokter. Dalam perkara tersebut unsur melawan hukumnya terlihat dengan jelas oleh karena adanya peraturan yang melarang orang yang bukan dokter bertindak dengan membuka praktek selaku dokter dan juga jelas terbukti bahwa pendapatan dari para dokter yang berpraktek disekitar tempat praktek dokter gadungan dimaksud menjadi berkurang. Akan tetapi dengan memakai ajaran Schutznorm, Hoge Raad menolak gugatan dari para dokter yang berpraktek disekitar tempat praktek dokter gadungan, dengan alasan bahwa ketentuan peraturan yang melarang orang yang bukan dokter bertindak dengan membuka praktek selaku dokter dimaksudkan/dibuat untuk melindungi masyarakat yang dapat menjadi korban dari praktek para dokter gadungan bukan untuk melindungi pendapatan dari para dokter yang berpraktek disekitar tempat adanya dokter gadungan membuka praktek.
Ganti Rugi Berdasarkan KUHPerdata
Ganti rugi akibat dari adanya PMH menurut KUHPerdata dapat kita bedakan menjadi 2 (dua) macam ganti rugi, yaitu:
a. ganti rugi umum, dan
b.ganti rugi khusus.
Yang dimaksud dengan ganti rugi umum dalam hal ini adalah ganti rugi yang berlaku dan berkaitan dengan semua perkara, baik untuk perkara wanprestasi maupun yang berkaitan dengan perikatan-perikatan lainnya termasuk karena PMH. Ketentuan mengenai ganti rugi umum dalam KUHPerdata diatur mulai dari Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252, dimana dalam Pasal-Pasal dimaksud secara konsisten KUHPerdata menyebutkan ganti rugi dengan istilah biaya, rugi dan bunga.
Selain ganti rugi umum, KUHPerdata juga mengatur ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan kerugian yang timbul akibat dari suatu PMH, selain adanya ganti rugi umum KUHPerdata juga mengatur adanya pemberian ganti rugi terhadap hal-hal sebagai berikut:
a.ganti rugi terhadap adanya PMH (Pasal 1365);
b.ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1366 dan Pasal 1367);
c.ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368);
d.ganti rugi untuk pemilik gedung yang runtuh (Pasal 1369);
e.ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (Pasal 1370);
f.ganti rugi bagi korban yang luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371), dan
g.ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380).
Demikian sekelumit dari Perbuatan Melawan Hukum yang dapat dijabarkan dalam tulisan ini, yang tentunya masih banyak kekurangannya dan jauh dari sempurna, sehingga mohon agar dapat dikoreksi dan disempurnakan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Disusun oleh : TB Emir Fais (advokat)
rgs-m